Profil Nyai Masluhah Muzakki. Nyai Hajah Masluha adalah pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot. Ia menduduki pimpinan tertinggi ponpes khusus putri itu sampai wafatnya pada tahun 1997. Nyai Masluha dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak nilai positif: sebagai ibu rumah tangga, wanita karir, pendidik, dan figur panutan karena kesederhanaan dan kerendahanhatinya.
Daftar isi
- Profil Singkat Nyai Masluhah
- 1963: Pindah Rumah ke Karangsuko
- 1964: Mendirikan Ponpes Putri
- 1974 Mendirikan Madrasah Diniyah
- 1997: Wafat
- Akhlak Mulia: Rendah Hati dan Tidak Gengsi
- Nyai Lutfiyah Pengasuh Kedua
PROFIL SINGKAT NYAI MASLUHA
Nama: Masluhah binti Muzakki
TTL: Jalan Murcoyo 180, Gondanglegi, Malang, 1943
Orang tua:
– Ayah: KH Muzakki
– Ibu: Ny. Hj. Saudah
Suami: KH Syuhud Zayyadi, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Putra Al-Khoirot
Pendidikan formal: MI Salafiyah Gondanglegi (sekarang SDI Salafiyah).
Pendidikan non-formal:
– Belajar ilmu agama pada ayahnya, KH Muzakki
– Setelah menikah memperdalam ilmu agama pada suami, KH. Syuhud Zayyadi.
Wafat: 1997 M; 1418 Hijriyah.
Putra/putri: 9 orang.
– Muhammad Amin Hasan
– Bisyaroh
– Lutfiyah
– Faizah
– Ahmad Fatih
– Muhammad Jafar Sodiq
– Muhammad Hamidurrohman
– Khotimatul Husna
– Muhammad Humaidi
PINDAH RUMAH KE KARANGSUKO
Nyai Hajjah Masluha Muzakki adalah pendiri sekaligus pengasuh pesantren Putri Al-Khoirot sejak pertama kali didirikan pada 1964 sampai wafatnya pada 1997.
Ny. Hj. Masluha Muzakki adalah anak kedua di antara 9 bersaudara dari pasangan KH. Muzakki dan Ny. Hj. Saudah yang beralamat di Jalan Murcoyo 180 Gondanglegi Malang.
Setelah menikah dengan Kyai Syuhud pada sekitar tahun 1957 dan menetap di Gondanglegi selama sekitar enam tahun, pada tahun 1963 Nyai Masluha pindah ke desa Karangsuko kecamatan Gondanglegi (sekarang ikut kecamatan Pagelaran) mengikuti Kyai Syuhud yang hendak mendirikan dan merintis pesantren. Perpindahan ini bersamaan dengan kelahiran putri ketiga yang bernama Lutfiyah.
MENDIRIKAN PONPES PUTRI
Pada 1964, setahun setelah Kyai Syuhud mendirikan pesantren Al-Khoirot putra, Nyai Masluha mendirikan pesantren putri Al-Khoirot dengan santri pertama bernama Shofiah dari desa Brongkal, sebelah selatan desa Karangsuko.
Antara tahun 1964 sampai 1973, sistem pendidikan di pesantren putri Al-Khoirot masih murni bersistem pesantren salaf non-klasikal yakni pengajian Al-Quran dan kitab kuning sorogan dan wetonan serta pembelajaran Al-Quran yang dilaksanakan di musholla. Dalam tahap awal ini, tenaga pengajarnya hanyalah beliau sendiri baik mengajar kitab kuning maupun Al-Quran. Beberapa tahun setelah itu, santri senior yang sudah lulus kemudian membantu menjadi pengajar di pesantren putri.
MENDIRIKAN PENDIDIKAN KELASIKAL (SISTEM KELAS) MADRASAH DINIYAH
Pada 1974, Ny. Masluha mendirikan madrasah diniyah (madin) putri. Dengan adanya madin putri, maka aktivitas belajar para santri putri menjadi lebih optimal. Karena, dengan adanya sistem kelas, maka hasil pembelajaran peserta didik menjadi lebih efektif sebab dikelompokkan berdasarkan pada kemampuannya.
Saat ini, mata pelajaran yang dikaji mayoritas ilmu agama dicampur sedikit ilmu umum yang dianggap penting seperti matematika dan bahasa Indonesia. Tenaga pengajarnya selain Nyai Masluha sendiri juga dibantu oleh para santri senior yang sudah lulus dari proses pengkaderan tahap pertama. Semua guru adalah perempuan.
WAFATNYA NYAI MASLUHA
Pada 1997, Ny. Masluha wafat dalam usia sekitar 55. Ia meninggalkan 5 putra dan 4 putri yang 4 di antaranya sudah menikah. Sedangkan lima yang lain masih menempuh studi di beberapa lembaga pendidikan dalam dan luar negeri.
AKHLAK MULIA: TAWADHU (RENDAH HATI)
Salah satu akhlak teragung manusia adalah rendah hati dan tidak sombong. Karakter ini terlihat sangat jelas dalam sosok Nyai Masluha. Sebagai pengasuh pesantren putri dan istri dari KH Syuhud yang cukup masyhur di Malang, Nyai Masluha bisa dianggap memiliki status sosial yang tinggi. Darah biru dalam istilah priyayi. Sosialita menurut istilah sekarang. Namun sikap priyayi itu sama sekali tidak tampak dalam keseharian beliau. Dan itu bisa dilihat dari fakta berikut:
1. Memasak sendiri
Setiap pagi selesai shalat subuh dan mengajar Al-Quran pada para santri, beliau memasak untuk kebutuhan keluarga. Aktivitas ini dibantu oleh putri-putrinya. Ini adalah aktivitas yang tidak biasa dilakukan oleh seorang Bu Nyai yang umumnya memiliki banyak pembantu (Jawa: abdi dalem; Madura: kabuleh). Mungkin ini dilakukan sekaligus untuk mendidik putri-putrinya agar terbiasa mandiri dan tidak mengandalkan orang lain.
Perlu juga diketahui, bahwa masakan yang disediakan setiap harinya cukup banyak, melebihi kebutuhan keluarga, karena:
- Untuk kebutuhan makan para kabuleh (abdi dalem) putra dan putri.
- Untuk makan para ustadz putra.
- Untuk memberi makan para tamu. Ini kebiasaan Kyai Syuhud yang selalu memberi hidangan makan pada setiap tamu yang datang dari jauh. Yang dimaksud ‘tamu jauh’ adalah yang berjarak sekitar 30 kilometer lebih dari rumah. Atau, tamu yang dekat yang bertamu dalam durasi yang cukup lama.
Namun demikian, yang dimasak Ibu Nyai Masluha adalah lauk pauknya saja. Sedangkan yang bagian memasak nasi adalah para kabuleh putri.
2. Upah menjahit untuk santri dan tetangga
Nyai Masluha punya keahlian tata busana termasuk menjahit dan bordir. Dan itu dimanfaatkannya untuk membantu ekonomi keluarga yang harus memberi makan cukup banyak orang.
Tanpa merasa gengsi dan sungkan beliau menawarkan jasa menjahit pada santriwati dan para tetangga yang hendak menjahitkan bajunya. Pada saat itu, tidak umum orang membeli baju langsung jadi (garmen).
Perilaku ini juga menjadi teladan yang sangat mendalam baik bagi putri-putri beliau maupun pada santri perempuan.
3. Menjahit baju untuk dijual
Selain mengambil upah menjahit, Nyai Masluha juga membuat mukena atau pakaian shalat perempuan dan kerudung bordir untuk dijual. Apabila pesanan (order) sedang banyak, beliau biasanya akan mempekerjakan para santri putri atau alumni putri untuk mengerjakannya. Tentu saja dengan honor yang pantas.
4. Memberi pelatihan menjahit putri dan santri putri
Putri-putrinya tidak hanya diajari ilmu agama, tapi juga ilmu keterampilan tata busana. Tujuannya sederhana: agar bisa membantu ekonomi suaminya kelak tanpa harus bekerja di luar.
Tujuan yang sama juga ditanamkan pada para santri putri. Terutama yang senior. Mereka mendapat pelatihan keterampilan tata busana. Yang manfaatnya sangat terasa oleh para santri putri yang sudah menikah. Dan yang tidak kalah penting, semua kegiatan ini gratis tanpa dipungut biaya apapun.
Program pelatihan keterampilan tata busana ini sampai sekarang masih dilestarikan oleh pengasuh ponpes putri dan semakin ditingkatkan sarana prasarananya.
PENGASUH KEDUA: NY. HJ. LUTFIYAH SYUHUD
Sejak wafatnya Nyai Masluha pada 1997, maka estafet kepemimpinan pesantren putri diteruskan oleh putrinya yang ketiga yaitu Ny. Hj. Luthfiyah Syuhud sampai sekarang (2020). Ini karena putra dan putri pertama dan kedua tidak tinggal di Al-Khoirot.
KH. M. Amin Hasan, putra pertama, menjadi menantu KH. Ahmad Mahfudz Zayadi, pengasuh pondok Bata-bata, Pamekasan dan tinggal menetap di Akor, Pamekasan bersama keluarganya. Sedangkan putri kedua, Ny. Hj. Bisyaroh menjadi menantu KH Zaini Mun’im, pendiri dan pengasuh Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo dan tinggal menetap di PP Nurul Jadid bersama KH Zuhri Zaini, suami beliau yang saat ini menjadi pengasuh PP Nurul Jadid.
Jadi, adalah wajar apabila kepemimpinan pesantren putri jatuh ke NY. Hj. Luthfiyah Syuhud karena dialah satu-satunya anak perempuan yang tinggal menetap di Al-Khoirot Karangsuko bersama suaminya KH. Zainal Ali Suyuthi yang menjadi pengasuh kedua setelah wafatnya KH Syuhud Zayyadi pada tahun 1993.
Sejak 2005, kepemimpinan pesantren putri selain dipegang oleh Ny. Hj. Luthfiyah Syuhud juga dibantu oleh empat adik-adik iparnya yaitu Ny. Hj. Juwairiyah Arifin (istri dari KH. Jafar Sodiq), Ny. Chusnia Khoirotussaadah Kamal (istri Ahmad Fatih), Ny. Lutfiyah Karim (istri KH Muhammad Hamidurrohman) dan Ny. Malikatun Nufus Baidowi (istri dari KH Muhammad Humaidi).
Artikel ini Profil Nyai Masluhah Muzakki muncul pertama kali di Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang.